Muhdasa School of Talent
Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai permasalahan yang kompleks. Hal ini terjadi karena berbagai tuntutan masyarakat terhadap kualitas output pendidikan yang semakin meningkat serta dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang terus berubah. Pada era yang di hadapi oleh Indoneisa saat ini merupakan era Revolusi Industri 4.0, era dimana kehidupan manusia selalu berhubungan dengan teknologi dan informasi. Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Karakter beserta tim penyusun buku “konsep dan pedoman Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK) di Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Dr. Arie Budhiman dkk (2019) menjelaskan bahwa, dalam skala mikro pendidikan dunia abad XXI sekarang juga ditandai oleh adanya imperatif-imperatif global pendidikan, di antaranya Pendidikan Untuk Semua (PUS), Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (ESD), Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s), dan Literasi Dunia bagi Pemberdayaan.
Untuk meningkatkan keberhasilan dalam proses pendidikan diperlukan sebuah upaya dari pihak sekolah dengan menggunakan sebuah metode yang berbasis digital atau teknologi yang bisa digunakan pada saat tatap muka di sekolah maupun di rumah, Menurut (Goodrich et al., 2020) mengatakan bahwa teknologi berperan sangat penting dalam kehidupan siswa dan lainya, hal ini juga memangku kepentingan di dalam pendidikan itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tahun (2020) yang menegaskan bahwa izin kegiatan pembelajaran tatap muka di perguruan tinggi dan polteknik/akademi komunitas pada semester genap Tahun Akademik 2020/2021 dapat dilakukan secara campuran (blended learning). Oleh karena itu, perlu dicari alternatif yang dapat digunakan dalam memberikan layanan aktif dan konstruktif yaitu dengan menggunakan layanan yang berbasis Blended Learning. Selain itu, juga ditandai oleh munculnya temuan-temuan dan pemikiran-pemikiran baru yang berkenan dengan dimensi tertentu pendidikan, diantaranya temuan neurosains pendidikan dan pembelajaran (misalnya hubungan otak dan belajar), munculnya berbagai teori kecerdasan, tumbuhnya pemikiran baru pembelajaran (misalnya blended learning, mindful learning), dan kebijakan baru bidang pendidikan dan pembelajaran. Lebih jauh lagi, juga muncul pergeseran peranan dan fungsi pendidikan dalam masyarakat, tugas pranata dan lembaga pendidikan, bentuk organisasional pendidikan serta keberadaan modal manusia dalam pendidikan. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru dalam sendi-sendi pendidikan termasuk sendi-sendi pendidikan nasional di indonesia pada abad 21.
Adapun menurut Nurpitasari dkk (2019), sendi-sendi pendidikan nasional yang berkaitan dengan revolusi industri di indonesia ialah, pada abad 21 ini perkembangan teknologi yang pesat membuat siswa berpikir proses pembelajaran tidak harus di kelas tetapi bisa dilakukan di luar kelas. Hal ini juga di ungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Nadiem Anwar Makarim 2021) yang mengatakan bahwa pada masa pandemi covid-19 telah mengubah praktik dan kebiasaan belajar, bukan saja di indonesia tapi juga di seluruh dunia. Pembelajaran yang biasanya dilakukan di satuan pendidikan kemudian berpindah menjadi belajar dari rumah. Guru dan peserta didik terlibat dalam pembelajaran jarak jauh yang menghadirkan sejumlah tantangan mulai dari ketersediaan peralatan digital dan jaringan internet, kondisi psikososial peserta didik maupun guru, disparatis kompetensi guru hingga rendahnya keterlibatan orang tua/wali peserta didik dalam pembelajaran.
Salah satu keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21 dan pada masa pandemi covid-19 seperti saat ini yaitu berpikir kritis (Critical Thunking Skills). Kemampuan berpikir kritis atau Critical hinking Skills ini merupakan kemampuan yang sangat di perlukan seseorang agar dapat menghadapi berbagai permasalahan yang di hadapi dalam kehidupan bermasyarakat maupun personal. Seorang pemikir kritis mampu menganalisis dan mengevaluasi setiap informasi yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Jhonson (2009) yang menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses sistematis yang memungkinkan peserta didik dapat merumuskan serta mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Jie et al., (2015) menambahkan bahwa pemikir kritis mampu mengkritisi, bertanya, mengevaluasi, dan merefleksi informasi yang di peroleh.
Hal ini menjadi sebuah tanggung jawab yang cukup besar bagi lembaga sosial maupun organisasi dalam ranah pendidikan, agar generasi selanjutnya mempunyai keterampilan berpikir kritis dengan sikap yang skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik. Mengajarkan siswa untuk berpikir kritis merupakan salah satu tujuan utama pendidikan (Kazempour, 2013; Kaleiloglu & Gulbahar, 2014; Zubaidah 2010). Sebagai pendidik, seorang guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang mampu melatih kemampuan berpikir kritis siswa untuk menemukan informasi belajar secara mandiri dan aktif menciptakan struktur kognitif pada siswa, patonah (2014). Upaya untuk pembentukan kemampuan berpikir kritis siswa yang optimal mensyaratkan adanya kelas yang interakitf, siswa dipandang sebagai pemikir bukan seorang yang diajar, dan guru berperan sebagai mediator, fasilitator, dan motivator yang membantu siswa dalam belajar bukan hanya sekedar mengajar.
Hal ini diperkuat dengan data penelitian yang dilakukan oleh (Nuryanti dkk, 2018), kemampuan berpikir kritis siswa SMP Negeri 1 Delanggu Kabupaten klaten tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan presentase rata-rata kategori B yang hanya 40,46%. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prihatiningsih dkk (2016), Martawijaya (2015) dan Normaya (2015) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa SMP masih belum berkembang atau masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa ini antara lain di karenakan pembelajaran yang diterapkan di sekolah masih didominasi oleh guru sehingga kurang melatih kemampuan berpikir kritis pada siswa.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis perlu dilatihkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Yulianti (2013) yang menyatakan bahwa berpikir kritis dapat diajarkan dan memerlukan latihan untuk dapat memilikinya. Kemampuan berpikir kritis harus dilatihkan pada siswa karena berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menganalisis pikiranya dalam menentukan pilihan dan menarik kesimpulan dengan cerdas. Apabila siswa diberi kesempatan untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi disetiap tingkatan kelas, maka siswa akan terbiasa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan (Kurniawati, 2016).
Hal ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian (Fariska, 2017) di kelas VII-A SMP Negeri 1 Mojokerto, keterampilan berpikir kritis awal siswa berdasarkan hasil pretest terletak pada level 0 sebanyak 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa tidak menguasai salah satu ataupun semua dari indikator keterampilan berpikir kritis dengan baik. Tetapi, setelah diterapkan pembelajaran Blended learning dan diberikan posttest, level keterampilan berpikir kritis siswa meningkat. Pada level 1 dengan kategori tidak kritis sebanyak 13,33% sejumlah 4 siswa, level 2 dengan kategori kurang kritis sebanyak 23,33% sejumlah 7 siswa, level 3 dengan kategori cukup kritis sebanyak 10% sejumlah 3 siswa dan presentase siswa yang berada di level 0 menurun menjadi 53,33% sejumlah 16 siswa, sedangkan tidak ditemukan siswa yang berada pada level 4.
Oleh karena itu, strategi penerapan pembelajaran Blended Learning sangat penting di terapkan oleh guru SMP untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada siswa disekolah pada masa pandemi saat ini, agar siswa mampu menghadapi berbagai permasalahan yang di hadapi dalam kehidupan bermasyarakat maupun personal serta memungkinkan siswa untuk menganalisis pikiranya dalam menentukan pilihan dan menarik kesimpulan dengan cerdas. (M Fadhir)
Komentar (0)